Shalat
Gerhana Matahari
Shalat
gerhana matahari dilakukan di SMP Negeri 10 Kota Tanggerang Selatan karena pada
tanggal 9 Maret 2016 terjadi gerhana matahari total.Dimulai pada pukul 07.00
sampai dengan pukul 08.00.Yang menjadi imam dan khatib pada shalat gerhana Matahari
ialah Drs. H. Rohidi, MA selaku Kepala Sekolah SMP Negeri 10 Kota Tanggerang
Selatan
A.
Bagi yang
Menyaksikan Gerhana Hendaklah Melaksanakan Shalat Gerhana
Jika seseorang
menyaksikan gerhana, hendaklah ia melaksanakan shalat gerhana sebagaimana tata
cara yang nanti akan kami utarakan, insya Allah.Lalu apa hukum shalat gerhana?
Pendapat yang terkuat, bagi siapa saja yang melihat gerhana dengan mata
telanjang, maka ia wajib melaksanakan shalat gerhana.
Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا
فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ
”Jika kalian melihat
gerhana tersebut (matahari atau bulan) , maka bersegeralah untuk melaksanakan
shalat.” Karena dari hadits-hadits yang menceritakan mengenai shalat gerhana
mengandung kata perintah (jika kalian melihat gerhana tersebut, shalatlah:
kalimat ini mengandung perintah). Padahal menurut kaedah ushul fiqih,hukum asal
perintah adalah wajib. Pendapat yang menyatakan wajib inilah yang dipilih oleh
Asy Syaukani, Shidiq Hasan Khoon, dan Syaikh Al Albani rahimahumullah.
Catatan: Jika di suatu
daerah tidak nampak gerhana, maka tidak ada keharusan melaksanakan shalat
gerhana. Karena shalat gerhana ini diharuskan bagi siapa saja yang melihatnya
sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.
B.
Waktu
Pelaksanaan Shalat Gerhana
Waktu pelaksanaan
shalat gerhana adalah mulai ketika gerhana muncul sampai gerhana tersebut
hilang.
Dari Al Mughiroh bin Syu’bah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,
Dari Al Mughiroh bin Syu’bah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ
آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ
، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِىَ
”Matahari dan bulan
adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut
tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat
keduanya, berdo’alah pada Allah, lalu shalatlah hingga gerhana tersebut hilang
(berakhir).”
Shalat gerhana juga boleh dilakukan pada waktu terlarang untuk shalat. Jadi, jika gerhana muncul setelah Ashar, padahal waktu tersebut adalah waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tetap boleh dilaksanakan. Dalilnya adalah:
Shalat gerhana juga boleh dilakukan pada waktu terlarang untuk shalat. Jadi, jika gerhana muncul setelah Ashar, padahal waktu tersebut adalah waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tetap boleh dilaksanakan. Dalilnya adalah:
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا
فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ
”Jika kalian melihat
kedua gerhana matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan shalat.” Dalam
hadits ini tidak dibatasi waktunya. Kapan saja melihat gerhana termasuk waktu
terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tersebut tetap dilaksanakan.
C. Hal-hal
yang Dianjurkan Ketika Terjadi Gerhana
· Pertama:
perbanyaklah dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan bentuk ketaatan lainnya.
Dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ
آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ
، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
”Sesungguhnya matahari
dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini
tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat
hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan
bersedekahlah.”
· Kedua:
keluar mengerjakan shalat gerhana secara berjama’ah di masjid.
Salah
satu dalil yang menunjukkan hal ini sebagaimana dalam hadits dari ’Aisyah
bahwasanya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengendari kendaraan di pagi hari
lalu terjadilah gerhana. Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melewati kamar
istrinya (yang dekat dengan masjid), lalu beliau berdiri dan menunaikan
shalat.
Dalam
riwayat lain dikatakan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mendatangi
tempat shalatnya (yaitu masjidnya) yang biasa dia shalat di situ.Ibnu Hajar
mengatakan, ”Yang sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
adalah mengerjakan shalat gerhana di masjid. Seandainya tidak demikian, tentu
shalat tersebut lebih tepat dilaksanakan di tanah lapang agar nanti lebih mudah
melihat berakhirnya gerhana.”Lalu apakah mengerjakan dengan jama’ah merupakan
syarat shalat gerhana? Perhatikan penjelasan menarik berikut.
Syaikh
Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, ”Shalat gerhana secara jama’ah
bukanlah syarat. Jika seseorang berada di rumah, dia juga boleh melaksanakan
shalat gerhana di rumah. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam,
فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا
”Jika kalian
melihat gerhana tersebut, maka shalatlah”.
Dalam
hadits ini, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam tidak mengatakan, ”(Jika
kalian melihatnya), shalatlah kalian di masjid.” Oleh karena itu, hal ini
menunjukkan bahwa shalat gerhana diperintahkan untuk dikerjakan walaupun
seseorang melakukan shalat tersebut sendirian. Namun, tidak diragukan lagi
bahwa menunaikan shalat tersebut secara berjama’ah tentu saja lebih utama
(afdhol). Bahkan lebih utama jika shalat tersebut dilaksanakan di masjid karena
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengerjakan shalat tersebut di masjid dan
mengajak para sahabat untuk melaksanakannya di masjid. Ingatlah, dengan banyaknya
jama’ah akan lebih menambah kekhusu’an. Dan
banyaknya jama’ah juga adalah sebab
terijabahnya (terkabulnya) do’a.”
· Ketiga:
wanita juga boleh shalat gerhana bersama kaum pria
Dari Asma` binti Abi
Bakr, beliau berkata,
أَتَيْتُ عَائِشَةَ – رضى
الله عنها – زَوْجَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ ،
فَإِذَا النَّاسُ قِيَامٌ يُصَلُّونَ ، وَإِذَا هِىَ قَائِمَةٌ تُصَلِّى فَقُلْتُ مَا
لِلنَّاسِ فَأَشَارَتْ بِيَدِهَا إِلَى السَّمَاءِ ، وَقَالَتْ سُبْحَانَ اللَّهِ
. فَقُلْتُ آيَةٌ فَأَشَارَتْ أَىْ نَعَمْ
“Saya mendatangi Aisyah
radhiyallahu ‘anha -isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika terjadi
gerhana matahari. Saat itu manusia tengah menegakkan shalat. Ketika Aisyah
turut berdiri untuk melakukan sholat, saya bertanya: “Kenapa orang-orang ini?”
Aisyah mengisyaratkan tangannya ke langit seraya berkata, “Subhanallah (Maha
Suci Allah)”. Saya bertanya: “Tanda (gerhana)?” Aisyah lalu memberikan isyarat
untuk mengatakan iya.”
Bukhari membawakan
hadits ini pada bab:
صَلاَةِ النِّسَاءِ مَعَ
الرِّجَالِ فِى الْكُسُوفِ
”Shalat wanita bersama
kaum pria ketika terjadi gerhana matahari.”
Ibnu Hajar mengatakan,
Ibnu Hajar mengatakan,
أَشَارَ بِهَذِهِ التَّرْجَمَة
إِلَى رَدّ قَوْل مَنْ مَنَعَ ذَلِكَ وَقَالَ : يُصَلِّينَ فُرَادَى
”Judul bab ini adalah
sebagai sanggahan untuk orang-orang yang melarang wanita tidak boleh shalat
gerhana bersama kaum pria, mereka hanya diperbolehkan shalat sendiri.”
Kesimpulannya, wanita
boleh ikut serta melakukan shalat gerhana bersama kaum pria di masjid. Namun,
jika ditakutkan keluarnya wanita tersebut akan membawa fitnah (menggoda kaum
pria), maka sebaiknya mereka shalat sendiri di rumah.
· Keempat:
menyeru jama’ah dengan panggilan ’ash sholatu jaami’ah’ dan tidak ada adzan
maupun iqomah.
Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan,
Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan,
أنَّ الشَّمس خَسَفَتْ عَلَى
عَهْدِ رَسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَبَعَثَ مُنَادياً يُنَادِي: الصلاَةَ جَامِعَة،
فَاجتَمَعُوا. وَتَقَدَّمَ فَكَبرَّ وَصلَّى أربَعَ رَكَعَاتٍ في ركعَتَين وَأربعَ
سَجَدَاتٍ.
“Aisyah radhiyallahu
‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk memanggil
jama’ah dengan: ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah).
Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan
empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.”14 Dalam hadits
ini tidak diperintahkan untuk mengumandangkan adzan dan iqomah. Jadi, adzan dan
iqomah tidak ada dalam shalat gerhana.
· Kelima:
berkhutbah setelah shalat gerhana
Disunnahkah setelah
shalat gerhana untuk berkhutbah, sebagaimana yang dipilih oleh Imam Asy
Syafi’i, Ishaq, dan banyak sahabat15. Hal ini berdasarkan hadits:
عَنْ عَائِشةَ رَضي الله
عَنْهَا قَالَتْ: خَسَفَتِ الشمسُ عَلَى عَهدِ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم. فَقَامَ
فَصَلَّى رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم بالنَّاس فَأطَالَ القِيَام، ثُمَّ رَكَعَ
فَأطَالَ الرُّكُوعَ، ثُمَّ قَامَ فَأطَالَ القيَامَ وَهو دُونَ القِيَام الأوَّلِ،
ثم رَكَعَ فَأطَالَ الرُّكوعَ وهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأوَّلِ، ثُم سَجَدَ فَأطَالَ
السُّجُودَ، ثم فَعَلَ في الركعَةِ الأخْرَى مِثْل مَا فَعَل في الركْعَةِ الأولى،
ثُمَّ انصرَفَ وَقَدْ انجَلتِ الشَّمْسُ، فَخَطبَ الناسَ فَحَمِدَ الله وأثنَى عَليهِ
ثم قالَ:
” إن الشَّمس و القَمَر آيتانِ
مِنْ آيَاتِ الله لاَ تنْخَسِفَانِ لِمَوتِ أحد. وَلاَ لِحَيَاتِهِ. فَإذَا رَأيتمْ
ذلك فَادعُوا الله وَكبروا وَصَلُّوا وَتَصَدَّ قوا”.
ثم قال: ” يَا أمةَ مُحمَّد
” : والله مَا مِنْ أحَد أغَْيَرُ مِنَ الله سُبْحَانَهُ من أن يَزْنَي عَبْدُهُ أوْ
تَزني أمَتُهُ. يَا أمةَ مُحَمد، وَالله لو تَعْلمُونَ مَا أعلم لضَحكْتُمْ قَليلاً
وَلَبَكَيتم كثِيراً “.
Dari
Aisyah, beliau menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian
beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan
memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang
sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun
lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan
memperpanjang sujud tersebut.
Pada
raka’at berikutnya, beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas
beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.
Setelah itu beliau berkhotbah di hadapan orang banyak, beliau memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda,
”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”
Setelah itu beliau berkhotbah di hadapan orang banyak, beliau memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda,
”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”
Nabi selanjutnya
bersabda
”Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah karena ada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan yang berzina. Wahai Umat Muhammad, demi Allah, jika kalian mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.”16
”Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah karena ada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan yang berzina. Wahai Umat Muhammad, demi Allah, jika kalian mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.”16
Khutbah yang dilakukan
adalah sekali sebagaimana shalat ’ied, bukan dua kali khutbah. Inilah
pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh Imam Asy Syafi’i.17
D. Tata
Cara Shalat Gerhana
Shalat
gerhana dilakukan sebanyak dua raka’at dan ini berdasarkan kesepakatan para
ulama. Namun, para ulama berselisih mengenai tata caranya.Ada yang mengatakan
bahwa shalat gerhana dilakukan sebagaimana shalat sunnah biasa, dengan dua
raka’at dan setiap raka’at ada sekali ruku’, dua kali sujud.
Ada juga yang berpendapat bahwa shalat gerhana
dilakukan dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada dua kali ruku’, dua kali
sujud. Pendapat yang terakhir inilah yang lebih kuat sebagaimana yang dipilih
oleh mayoritas ulama.18
Hal ini berdasarkan hadits-hadits tegas yang telah
kami sebutkan:
“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk menyeru ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.”19
“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk menyeru ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.”19
“Aisyah menuturkan bahwa gerhana matahari pernah
terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan
berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau
berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari
berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’
tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud
dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya beliau mengerjakannya
seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi),
sedangkan matahari telah nampak.”20
Ringkasnya, tata cara shalat gerhana -sama seperti
shalat biasa dan bacaannya pun sama-, urutannya sebagai berikut.
[1] Berniat di dalam hati dan tidak dilafadzkan karena melafadzkan niat termasuk perkara yang tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ’alaihi wa sallam juga tidak pernah mengajarkannya lafadz niat pada shalat tertentu kepada para sahabatnya.
[2] Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana
shalat biasa.
[3] Membaca do’a istiftah dan berta’awudz, kemudian
membaca surat Al Fatihah dan membaca surat yang panjang (seperti surat Al
Baqarah) sambil dijaherkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih) sebagaimana
terdapat dalam hadits Aisyah:
جَهَرَ النَّبِىُّ – صلى
الله عليه وسلم – فِى صَلاَةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjaherkan
bacaannya ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari no. 1065 dan Muslim no. 901)
[4] Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.
[5] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil
mengucapkan ’SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD’
[6] Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun
dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri
yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.
[7] Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya
lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.
[8] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal).
[9] Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana
ruku’, lalu duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali.
[10] Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan
raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan
gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.
[11] Tasyahud.
[12] Salam.
[13] Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada
para jama’ah yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, dan
sedekah
0 komentar:
Posting Komentar